Jumat, 20 Juni 2014

puisi untuk sahabat ku


ANAK JALANAN MENGGUGAT!
m.nur hakim

mengapa selalu kami?
kota menjadi semerawut katanya karena kami
kota tidak aman katanya karena kami
dan kalian tidak pernah lelah mengejar kami

lalu bagaimana dengan koruptor?
mereka membunuh banyak saudara kami
saudara kami kelaparan
lapar karena uangnya diambil mereka
mereka lebih jahat dari kami
bahkan mereka lebih hina dari pada kotoran kami

jika kalian berhati nurani
berhentilah mengejar kami
kejarlah si koruptor bangsat itu
bunuh saja mereka
karena mereka saja bisa tega membunuh saudara kami
jangan tertipu dengan wajah memelasnya

Siapa yang Bodoh?

saya punya puisi, dimana puisi ini adalah ekspresi kegelisahan saya dan bentuk protes saya terhadap masyarakat. dimana, kita sering dianggap bodoh apabila kita memperoleh nilai buruk. pada nilai tak bisa menjadi acuan pasti dalam menilai seeorang. puisi ini saya beri judul "Siapa Yang Bodoh?"

SIAPA YANG BODOH?
m.nur hakim

aku terjebak dalam ruangan
ruangan yang sangat membosankan
ruang itu adalah hidup
aku dipaksa melakukan sesuatu
sesuatu yang terkadang tak kusukai
nilai menjadi dewa
padahal dewa bukanlah nilai
kau anggap aku bodoh
padahal kaulah yang bodoh
yang menggila-gilai nilai
padahal
nilai bisa dibeli

POLITIK PANGGUNG SANDIWARA BAGI ARTIS MASA KINI



Anggapan politik adalah panggung sandiwara bagi para artis-artis mungkin ada yang setuju dan tidak setuju. Tapi mau tidak mau semua itu sudah terjadi.seperti kita ketahui, di dalam perpolitikan itu tidak ada teman sejati dan tidak ada lawan sejati. Mungkin hari ini dia menjadi teman kita, tapi esok mereka akan menyerang dan menghancurkan kita. Begitu juga sebaliknya, mungkin hari ini dia adalah lawan kita, tapi mungkin esok merekalah yang membantu kita untuk melawan musuh-musuh kita. Tidak hanya artis saja yang melakukan sandiwara tetapi hamper semua yang ber politik itu bermain sandiwara.
            Mungkin dari hal seperti itulah yang menjadi daya tarik bagi para artis-artis di negeri kita ini, sehingga banyak artis-artis yang berlomba-lomba ingin menjadi politikus. Atau mungkin dia  benar-benar ingin memperbaiki system perpolitikan di negeri ini. Memang berpolitik itu bebas bagi seluruh warga masyarakat Indonesia sehingga siapa saja boleh ikut serta atau mencalonkan menjadi petingging di negeri ini. Tapi coba kita lihat masa lalu, kalau dulu artis-artis hanya sebagai penghibur dalam kampanye, tapi kini mereka menjadi bagian dari salah satu partai politik. Itu adalah berntuk partisipasi masyarakat masa kini. Tapi apakah itu benar-benar untuk memperbaiki system  politik di negeri ini atau hanya untuk pelarian ketika mereka tidak lagi laku dalam perfilman.
   Sebenarnya mengenai para artis yang ingin terjun ke dunia politik itu tidak menjadi masalah karena Artis – artis ini juga Warga Negara yang mempunayi hak untuk dipilih dan juga memilih. Tetapi untuk para selebritis ini jangan hanya mengunggulkan kecantikan, ketampanan dan juga kepopuleranya saja tetapi juga harus mempunyai kapasitas untuk menjadi seorang politikus, dilatar belakangi pendidikan yang memadai, selain itu juga harus bisa membuktikan kinerja  mereka untuk masyarakat.
Namun tak dapat di pungkiri lagi bila kita melihat kondisi di masyarakat kita sekarang, dalam memperoleh dukungan politik, popularitas amatlah penting.Karena itu selebritis yang identik dengan publikasi sangat mudah memperoleh dukungan politik. Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Darrell West, penulis buku Celebrity Politics, bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi. Televisi seakan menjadi medium yang sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Hal ini juga didukung dengan sistem pemilihan langsung yang kini diterapkan di negara kita. Sistem pemilihan langsung ini telah membuat selebriti yang lebih populer, menjadi lebih mempunyai tempat  di  hati  masyarakat  sebagai  penggemarnya.  Selain  itu,  fenomena popularitas  artis dalam dunia politik ini juga disuburkan oleh kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia. Di tengah rendahnya partisipasi politik dan minimnya pengetahuan publik terhadap sosok kandidat, maka popularitas menjadi lebih penting dari visi misi. Lepas dari popularitas, kemampuan, pengalaman, serta program kerja yang dimiliki kandidat, tidak akan terlalu menjadi perhatian masyarakat. Hal ini wajar, jika dilihat dari karakteristik masyarakat Indonesia  yang  mayoritas  buta  politik  dan  berpendidikan  rendah.  Kedua  hal  tersebut membuat rakyat menjadi tidak begitu peduli pada visi, misi, program kerja, dan janji-janji yang dikeluarkan pada masa kampanye pilkada. Karena itu, tak heran popularitas menjadi senjata  ampuh  dalam  memenangkan  suara  rakyat.  Popularitas  politik,  hal  inilah  yang mendasari partai-partai politik banyak menggaet artis-artis ternama dalam ajang Pilkada.

Sebenarnya jika ditilik dari segi kebebasan, tidak ada yang salah dengan fenomena masuknya artis dengan mengandalkan popularitas ke dalam dunia politik karena setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam dunia politik, terlepas dari latar belakang ekonomi dan profesinya. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah perbedaan yang besar antara dunia artis dengan dunia politik. Dunia artis sebagai dunia   hiburan   dengan   dunia   politik   pada   dasarnya   mempunyai   tujuan   yang   sama, masing-masing berusaha memberikan kepuasan pada publik. Namun prosesnya terkadang jauh berbeda, antara panggung hiburan dengan panggung politik. Dunia selebritis adalah dunia glamour yang penuh dengan gemerlap dan hura-hura, yang hanya di bingkai dengan sedikit aturan. Hal ini tentu berbeda dengan dunia politik yang sangat kaku dan prosedural.

Sebenar bukan masyarakat tidak mengizinkan para selebritis beralih profesi menjadi poltikus melainkan tidak ingin melihat para selebritis yang terjun ke politik hanya bertahan dengan gaya status quo yang lebih banyak diam, duduk, dan duit. Ada juga yang tetap sibuk dengan aktivitas seninya yang membuat mereka besar. Keterlibatan artis yang cenderung setegah-setengah inilah yang menjadi salah satu ciri buruk dari keterlibatan artis dalam politik. Dengan popularitasnya, mereka mudah mendapat suara publik. Tetapi dengan ketidaksiapannya dalam dunia politik, mereka lantas dengan mudah melepaskan jabatan politik yang telah di percayakan rakyat tersebut. Hal ini tentu mengecewakan rakyat yang telah memberi suara yang memilih mereka. Seperti halnya artis lawak Diky Candra yang mengundurkan diri sebagai wakil bupati Garut dengan alas an tidak cocok dengan pasangannya. Seharusnya dia harus mengenali terlebih dahulu sebelum melangkah maju untuk jadi pasangan bupati dan wakil bupati.

Fenomena artis masuk dalam dunia politik dengan memanfaatkan popularitasnya juga kemudian menjadi masalah bila sang artis sebenarnya tidak memiliki kemampuan dan komitmen yang cukup untuk mewakili rakyat daerahnya. Bila hal itu sampai terjadi, yang ditakutkan  adalah  sang  artis  kemudian  hanya  akan  dijadikan  alat  untuk  memperoleh dukungan  oleh  partai-partai  politik  tempatnya  bernaung.  Karena  kemampuan  politiknya lemah,  sang  artis  kemudian  hanya  akan  dijadikan  boneka  untuk  membela  kepentingan pihak-pihak lain yang telah lebih berpengalaman sebelumnya. Hal ini sebenarnya tampak dari posisi para artis yang mayoritas, jika bukan semua, hanya menempati jabatan sebagai wakil kepala  daerah,  bukan  sebagai  ketua  yang  akan  benar-benar  signifikan  perannya.  Dari posisinya yang hanya sebagai wakil, sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa artis kerap hanya dijadikan figur tambahan dalam ajang pemilihan kepala daerah tersebut. Karena toh segala macam keputusan akan kembali ke tangan sang ketua, bila nantinya mereka menang. Lantas bila demikian, dapat dikatakan keberadaan artis dalam dunia per-Pilkada-an hanya digunakan sebagai salah satu instrumen vote-getter, untuk mendapatkan suara publik.

Selain hanya dijadikan boneka untuk kepentingan pihak-pihak lain yang lebih berpengalaman,  fenomena  masuknya  artis  dengan  hanya  mengandalkan  popularitas  juga dapat merusak kualitas dunia perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. Hal itu disebabkan karena para artis yang terjun dalam dunia politik itu mayoritas sebenarnya kurang memiliki pengetahuan tentang politik yang mendalam. Kurangnya pengetahuan politik tersebut pada akhirnya akan berakibat pada pengambilan dan pembuatan kebijakan yang salah, sehingga dengan sendirinya akan berbuntut pada memburuknya kondisi perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. Selain itu, ditakutkan fenomena artis masuk dunia politik dengan memanfaatkan popularitas ini lantas akan diikuti oleh berbagai tokoh masyarakat yang sebenarnya juga tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai keadaan politik Indonesia. Bila hal itu sampai terjadi, akan semakin kacaulah demokrasi di Indonesia, semua orang akan berlomba-lomba untuk masuk dalam dunia politik, hanya dengan mengandalkan popularitas. Dan hal itu tentu saja akan menuntun kita kepada penurunan kualitas dari demokrasi itu sendiri. Harus  diakui,  keberadaan  popularitas  dalam  sistem  demokrasi  sesungguhnya memang tidak bisa dipisahkan.

Seorang pemimpin yang lahir dari proses demokrasi adalah seorang  pemimpin  yang  merupakan  pilihan  rakyat,  seseorang  yang  dirasa  dekat  dengan rakyat, dan oleh karena itu dapat dikatakan ia adalah seseorang yang populer di kalangan rakyat. Tetapi alangkah tidak bijaksananya bila popularitas tersebut dijadikan satu-satunya alasan dan cara untuk masuk dalam dunia perpolitikan, tanpa disertai kesungguhan hati dan pengetahuan  mendalam  mengenai  kondisi  perpolitikan  di  Indonesia.  Oleh  karena  itu, siapapun orang yang akan memasuki dunia politik, tidak boleh hanya memiliki popularitas melainkan ia juga harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai kondisi politik Indonesia, Modal popularitas artis rupanya tidak lagi sekedar menjadi polesan di panggung kampanye seperti massa orde baru. Di zaman reformasi ini, sejumlah selebriti malah beramairamai menjadi calom amggota legislatif yang di daftarkan parpol. Kehadiranpara caleg “karbitan” ini memang berpotensi mendulang suara. Tapi sekaligus menggusur peluang kader yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada parpol. Selain di legislatif, deretan artis belakangan meramaikan pilkada. Sebut saja primus, syaiful jamil dan ayu soraya. Akankah fenomena-fenomena seperti ini artis caleg ini sekedar pemanis dan pendulang suara partai semata. Dalam sejumlah pilkada, artis memang mendongkrak perolehan suara. Tapi seharusnya bukan Cuma kekuasaan yang mereka incar. Para selebriti yang menjadi politisi di tuntut dedikasi dan loyalitas pada rakyat. Yang pasti rakyat tak berharap sekedar di hibur dengan kehadiran mereka di lembaga eksekutif atau legislatif. Apalagi kalau ternyata fenomena artis berpolitik karena rakyat butuh figur dan kepercayaaan baru setelah kecewa pada caleg yang merupakan para kader parpol. Benar atau tidak opini yang muncul bahwa artis melenggang ke pilkada dan menjadi caleg awalnya mungkin bukan niatan sang artis itu sendir, namun  bujukan dan rayuan partai politi. Artis menjadi sasaran rayuan karena popularitasnya sangat layak di jua. Selain itu, dengan kondisi yang memungkinkan dengan tren artis masuk parpol juga menguntungkan partai politik. Sebab popularitas artis sangat menjual untuk memperbesar potensi raihan suara dalam pemilihan kepala daerah maupunpresiden, sehingga menjadi lumbung suara bagi setiap partai politik. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut membentuk, manipulasi citra yang di lakukan seorang kandidat. Terbukti, ada peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah di publikasikan media massa. Itulah sebabnya artis-artis banyak didekati parai politik untuk menjdai jago mereka. Karena sangat sedikit dari kader mereka yang benar-benar terkenal. Maka dengan menjagokan artis, partai politik tak perlu binggung-binggung sosialisasi dan mempopulerkan nama dan nomor partainya. Namun yang di sesalkan aspek kualitas menjadi nomor sekiankan oleh partai politik.
Selain itu, sekarang partai politik mulai mengicar para pengusaha yang memiliki media massa. Mengapa demekian, karena dengan mereka menguasai media massa maka mereka dapat mudah untuk mempengaruhi masyarakat. Meraka dapat membuat berita yang baik-baik tentang mereka dan berkampanye yang dilakukan dengan diam-diam, sehingga orang-orang tertaik dengan semua itu.
Jadi pada dasarnya siapapun boleh mencalonkan diri sebagai calon legislatif maupun kepala negara tentu dengan mengikuti aturan main yang berlaku. Namun hendaknya jangan bermodalkan materi tampang dan popularitas saja. Lebih dari itu, untuk duduk dalam jabatan politis seorang calon sepatutnya memiliki pengalaman dan pengetahuannya di bidan politik, pemerintahan dan kemasyarakatan. Hanya jangan sampai masyarakat menjadikan pilihan pada artis sebagai pelarian karena ketidaksukaan pada calon dari kalangan politisi atau mantan pejabat. Jika ini terjadi suatu saat masyarakat akan menuai kekecewaannya. Yang pasti masyarakat tidak berharap sekedar dihibur dengan kehadiran artis di lembaga esekutif maupun legislatif. Dan diharapkan  kepada masyarakat jangan hanya memilih karena kepopuleran melainkan karena kualitasnya dan kemampuannya.