Anggapan
politik adalah panggung sandiwara bagi para artis-artis mungkin ada yang setuju
dan tidak setuju. Tapi mau tidak mau semua itu sudah terjadi.seperti kita
ketahui, di dalam perpolitikan itu tidak ada teman sejati dan tidak ada lawan
sejati. Mungkin hari ini dia menjadi teman kita, tapi esok mereka akan
menyerang dan menghancurkan kita. Begitu juga sebaliknya, mungkin hari ini dia
adalah lawan kita, tapi mungkin esok merekalah yang membantu kita untuk melawan
musuh-musuh kita. Tidak hanya artis saja yang melakukan sandiwara tetapi hamper
semua yang ber politik itu bermain sandiwara.
Mungkin dari hal seperti itulah yang
menjadi daya tarik bagi para artis-artis di negeri kita ini, sehingga banyak
artis-artis yang berlomba-lomba ingin menjadi politikus. Atau mungkin dia benar-benar ingin memperbaiki system
perpolitikan di negeri ini. Memang berpolitik itu bebas bagi seluruh warga
masyarakat Indonesia sehingga siapa saja boleh ikut serta atau mencalonkan
menjadi petingging di negeri ini. Tapi coba kita lihat masa lalu, kalau dulu
artis-artis hanya sebagai penghibur dalam kampanye, tapi kini mereka menjadi
bagian dari salah satu partai politik. Itu adalah berntuk partisipasi
masyarakat masa kini. Tapi apakah itu benar-benar untuk memperbaiki system politik di negeri ini atau hanya untuk
pelarian ketika mereka tidak lagi laku dalam perfilman.
Sebenarnya mengenai
para artis yang ingin terjun ke dunia politik itu tidak menjadi masalah karena
Artis – artis ini juga Warga Negara yang mempunayi hak untuk dipilih dan juga
memilih. Tetapi untuk para selebritis ini jangan hanya mengunggulkan
kecantikan, ketampanan dan juga kepopuleranya saja tetapi juga harus mempunyai
kapasitas untuk menjadi seorang politikus, dilatar belakangi pendidikan yang
memadai, selain itu juga harus bisa membuktikan kinerja mereka untuk
masyarakat.
Namun tak dapat di pungkiri lagi
bila kita melihat kondisi di masyarakat kita sekarang, dalam memperoleh dukungan politik, popularitas amatlah
penting.Karena itu selebritis yang identik dengan publikasi sangat mudah memperoleh dukungan politik. Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Darrell West, penulis buku “Celebrity Politics”, bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya
televisi, dan demokrasi. Televisi seakan menjadi medium
yang sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra
diri. Hal ini juga didukung dengan sistem pemilihan langsung yang
kini diterapkan di negara kita. Sistem pemilihan langsung
ini telah membuat selebriti yang
lebih populer, menjadi lebih mempunyai tempat di hati
masyarakat
sebagai penggemarnya. Selain
itu, fenomena popularitas artis dalam dunia politik ini juga disuburkan oleh kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia.
Di tengah rendahnya partisipasi politik dan minimnya
pengetahuan publik terhadap sosok
kandidat, maka popularitas menjadi lebih penting dari visi misi. Lepas dari popularitas,
kemampuan, pengalaman, serta program kerja yang
dimiliki kandidat, tidak akan terlalu
menjadi perhatian masyarakat. Hal ini wajar, jika
dilihat dari karakteristik masyarakat Indonesia
yang mayoritas buta politik dan
berpendidikan
rendah.
Kedua hal
tersebut
membuat rakyat menjadi tidak begitu peduli pada
visi,
misi, program kerja, dan janji-janji yang
dikeluarkan pada masa kampanye pilkada. Karena itu, tak heran popularitas menjadi senjata
ampuh dalam
memenangkan suara
rakyat. Popularitas politik, hal
inilah yang
mendasari partai-partai politik
banyak
menggaet artis-artis
ternama dalam ajang Pilkada.
Sebenarnya jika ditilik dari segi kebebasan, tidak ada yang salah dengan fenomena masuknya artis dengan mengandalkan popularitas ke dalam dunia politik karena setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam dunia politik, terlepas dari latar belakang ekonomi dan profesinya. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini
adalah perbedaan yang besar antara dunia artis dengan dunia politik. Dunia artis sebagai
dunia hiburan dengan dunia politik pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama,
masing-masing berusaha memberikan kepuasan pada publik. Namun prosesnya terkadang jauh berbeda, antara panggung hiburan dengan
panggung politik. Dunia selebritis adalah dunia glamour yang penuh dengan
gemerlap dan hura-hura, yang hanya di bingkai dengan sedikit aturan. Hal ini
tentu berbeda dengan dunia politik yang sangat kaku dan prosedural.
Sebenar bukan masyarakat tidak
mengizinkan para selebritis beralih profesi menjadi poltikus melainkan tidak
ingin melihat para selebritis yang terjun ke politik hanya bertahan dengan gaya
status quo yang lebih banyak diam,
duduk, dan duit. Ada juga yang tetap sibuk dengan aktivitas seninya yang
membuat mereka besar. Keterlibatan artis yang cenderung setegah-setengah inilah
yang menjadi salah satu ciri buruk dari keterlibatan artis dalam politik.
Dengan popularitasnya, mereka mudah mendapat suara publik. Tetapi dengan
ketidaksiapannya dalam dunia politik, mereka lantas dengan mudah melepaskan
jabatan politik yang telah di percayakan rakyat tersebut. Hal ini tentu
mengecewakan rakyat yang telah memberi suara yang memilih mereka. Seperti
halnya artis lawak Diky Candra yang mengundurkan diri sebagai wakil bupati
Garut dengan alas an tidak cocok dengan pasangannya. Seharusnya dia harus
mengenali terlebih dahulu sebelum melangkah maju untuk jadi pasangan bupati dan
wakil bupati.
Fenomena artis masuk dalam dunia politik dengan memanfaatkan
popularitasnya juga kemudian menjadi masalah bila sang
artis sebenarnya tidak memiliki kemampuan dan komitmen yang
cukup untuk mewakili rakyat daerahnya. Bila hal itu sampai terjadi, yang
ditakutkan adalah
sang artis kemudian hanya
akan dijadikan
alat untuk memperoleh dukungan oleh partai-partai
politik
tempatnya bernaung. Karena kemampuan
politiknya
lemah, sang artis
kemudian
hanya akan
dijadikan
boneka untuk membela
kepentingan
pihak-pihak lain yang telah lebih berpengalaman sebelumnya. Hal ini sebenarnya tampak dari posisi para artis yang mayoritas, jika
bukan semua, hanya menempati jabatan
sebagai wakil
kepala
daerah, bukan
sebagai ketua
yang akan
benar-benar signifikan
perannya. Dari posisinya yang
hanya sebagai wakil, sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa artis kerap hanya dijadikan figur tambahan dalam ajang pemilihan kepala daerah tersebut. Karena toh segala macam keputusan akan kembali ke tangan sang ketua, bila nantinya mereka menang. Lantas bila demikian, dapat dikatakan keberadaan artis dalam dunia per-Pilkada-an hanya digunakan
sebagai
salah satu instrumen
vote-getter,
untuk mendapatkan suara publik.
Selain hanya dijadikan boneka untuk kepentingan pihak-pihak lain yang lebih berpengalaman, fenomena masuknya artis
dengan
hanya mengandalkan popularitas
juga
dapat merusak
kualitas dunia perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. Hal itu disebabkan
karena para artis yang terjun dalam dunia politik
itu
mayoritas sebenarnya kurang
memiliki pengetahuan tentang
politik yang
mendalam. Kurangnya pengetahuan politik tersebut pada akhirnya akan berakibat pada pengambilan dan pembuatan kebijakan yang salah, sehingga
dengan sendirinya akan berbuntut pada memburuknya kondisi perpolitikan dan demokrasi di
Indonesia. Selain itu, ditakutkan
fenomena artis masuk dunia politik
dengan memanfaatkan
popularitas ini lantas akan diikuti oleh berbagai tokoh masyarakat yang sebenarnya juga tidak
memiliki pengetahuan mendalam mengenai keadaan politik Indonesia. Bila
hal
itu sampai terjadi, akan semakin kacaulah
demokrasi di Indonesia,
semua orang akan berlomba-lomba untuk
masuk dalam dunia politik, hanya dengan mengandalkan popularitas. Dan hal itu tentu
saja akan menuntun kita kepada penurunan kualitas
dari demokrasi itu
sendiri. Harus diakui, keberadaan
popularitas dalam
sistem demokrasi sesungguhnya memang tidak bisa dipisahkan.
Seorang pemimpin yang
lahir dari proses demokrasi adalah seorang pemimpin
yang merupakan pilihan
rakyat, seseorang yang dirasa dekat
dengan
rakyat, dan oleh karena itu dapat dikatakan ia
adalah
seseorang yang populer di
kalangan
rakyat. Tetapi alangkah tidak bijaksananya
bila
popularitas tersebut dijadikan satu-satunya alasan dan cara
untuk masuk dalam dunia perpolitikan, tanpa disertai kesungguhan hati dan
pengetahuan mendalam mengenai
kondisi
perpolitikan di Indonesia. Oleh
karena itu,
siapapun orang yang akan memasuki dunia
politik, tidak boleh
hanya memiliki popularitas melainkan
ia juga harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai kondisi politik Indonesia, Modal popularitas artis rupanya
tidak lagi sekedar menjadi polesan di panggung kampanye seperti massa orde
baru. Di zaman reformasi ini, sejumlah selebriti malah beramairamai menjadi
calom amggota legislatif yang di daftarkan parpol. Kehadiranpara caleg
“karbitan” ini memang berpotensi mendulang suara. Tapi sekaligus menggusur
peluang kader yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada parpol. Selain di
legislatif, deretan artis belakangan meramaikan pilkada. Sebut saja primus,
syaiful jamil dan ayu soraya. Akankah fenomena-fenomena seperti ini artis caleg
ini sekedar pemanis dan pendulang suara partai semata. Dalam sejumlah pilkada,
artis memang mendongkrak perolehan suara. Tapi seharusnya bukan Cuma kekuasaan
yang mereka incar. Para selebriti yang menjadi politisi di tuntut dedikasi dan
loyalitas pada rakyat. Yang pasti rakyat tak berharap sekedar di hibur dengan
kehadiran mereka di lembaga eksekutif atau legislatif. Apalagi kalau ternyata
fenomena artis berpolitik karena rakyat butuh figur dan kepercayaaan baru
setelah kecewa pada caleg yang merupakan para kader parpol. Benar atau tidak
opini yang muncul bahwa artis melenggang ke pilkada dan menjadi caleg awalnya
mungkin bukan niatan sang artis itu sendir, namun bujukan dan rayuan partai politi. Artis
menjadi sasaran rayuan karena popularitasnya sangat layak di jua. Selain itu,
dengan kondisi yang memungkinkan dengan tren artis masuk parpol juga
menguntungkan partai politik. Sebab popularitas artis sangat menjual untuk
memperbesar potensi raihan suara dalam pemilihan kepala daerah maupunpresiden,
sehingga menjadi lumbung suara bagi setiap partai politik. Media massa mampu
menentukan pilihan seseorang setelah ikut membentuk, manipulasi citra yang di
lakukan seorang kandidat. Terbukti, ada peningkatan jumlah pemilih secara
drastis terhadap seorang kandidat setelah di publikasikan media massa. Itulah
sebabnya artis-artis banyak didekati parai politik untuk menjdai jago mereka.
Karena sangat sedikit dari kader mereka yang benar-benar terkenal. Maka dengan
menjagokan artis, partai politik tak perlu binggung-binggung sosialisasi dan
mempopulerkan nama dan nomor partainya. Namun yang di sesalkan aspek kualitas
menjadi nomor sekiankan oleh partai politik.
Selain itu, sekarang partai
politik mulai mengicar para pengusaha yang memiliki media massa. Mengapa
demekian, karena dengan mereka menguasai media massa maka mereka dapat mudah
untuk mempengaruhi masyarakat. Meraka dapat membuat berita yang baik-baik
tentang mereka dan berkampanye yang dilakukan dengan diam-diam, sehingga
orang-orang tertaik dengan semua itu.
Jadi pada dasarnya siapapun boleh
mencalonkan diri sebagai calon legislatif maupun kepala negara tentu dengan
mengikuti aturan main yang berlaku. Namun hendaknya jangan bermodalkan materi
tampang dan popularitas saja. Lebih dari itu, untuk duduk dalam jabatan politis
seorang calon sepatutnya memiliki pengalaman dan pengetahuannya di bidan
politik, pemerintahan dan kemasyarakatan. Hanya jangan sampai masyarakat
menjadikan pilihan pada artis sebagai pelarian karena ketidaksukaan pada calon
dari kalangan politisi atau mantan pejabat. Jika ini terjadi suatu saat
masyarakat akan menuai kekecewaannya. Yang pasti masyarakat tidak berharap
sekedar dihibur dengan kehadiran artis di lembaga esekutif maupun legislatif.
Dan diharapkan kepada masyarakat jangan
hanya memilih karena kepopuleran melainkan karena kualitasnya dan kemampuannya.